Sejarah Pertempuran di Ambarawa
K.D 3.2: Menganalisis
strategi perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan bengsa Eropa (Belanda)
K.D 4.2: Mengolah informasi tentang strategi
perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan bangsa Eropa(belanda) dan
menyajikanya dalam bentuk cerita sejarah.
Brigadir Jenderal Bethell(tengah)
1.
Latar belakang pertempuran Ambarawa
Pada
tanggal 20 November berakhir tanggal 15 Desember 1945, antara pasukan TKR yang
melawan pasukan Inggris. Ambarawa merupakan sebuah kota yang dimana letaknya
antara kota Semarang dan Magelang, serta Semarang dan Salatiga. Dalam peristiwa
ini dilatarbelakangi oleh mandaratnya pasukan Sukutu dari Divisi India ke-23 di
Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Pemerintah Indonesia memperkenankan
mereka untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan
Magelang.
Kedatangan
pasukan Sekutu “Inggris” diikuti oleh pasukan NICA, mereka mempersenjatai para
bekas tawanan perang Eropa, sehingga pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi
Insiden di Magelang yang kemudian terjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan
pasukan Sekutu. Insiden berakhir setelahg Presiden Soekarno dan Brigadir
Jenderal Bethell datang ke Magelang pada tanggal 2 November 1945, mereka
mengadakan perundingan gencatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang
ditungkan dalam 12 pasal, naskah persetujuan itu berisi antara lain:
1.
Pihak sekutu akan tetap menempatkan
pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus
evakuasi pasukan sekutu yang ditawan pasukan Jepang “RAPWI” dan Palang Merah
“Red Cross” yang menjadi bagian dari pasukan Inggris, jumlah pasukan sekutu
dibatasi sesuai dengan tugasnya.
2.
Jalan raya Ambarawa dan Magelang terbuka
sebagai jalur lalu lintas Indonesia dan sekutu.
3.
Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA
dan badan-badan yang ada di bawahnya.
Pihak
sekutu ternyata mengingkari janjinya, maka pada tanggal 20 November 1945 di
Pertempuran Ambarawa pecah, pertempuran antara TKR dibawah pimpinan Mayor
Sumarto dan pihak sekutu. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan sekutu yang
berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan
sekutu melakukan terhadap perkempungan di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR di
Ambarawa bersama dengan pasukan TKR dari Boyolali, Salatiga dan Kartasura
bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan di sepanjang rek
kereta api yang membelah kota Ambarawa.
Sedangkan
dari arah Magelang pasukan TKR Divisi V/Purwokerto dibawah pimpinan Imam
Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945, serangan itu
bertujuan untuk memukul mundur pasukan sekutu yang bertahan di desa pingit.
Pasukan yang dipimpin oleh Imam Androngi berhasil menduduki desa pingit dan
melakukan perebutan terhadap desa-desa sekitarnya. Batalion Imam Androngi
meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian Batalion Imam Androngi diperkuat
tiga hatalion dari Yogyakarta yaitu Batalion 10 di bawah pimpinan Mayor
Soeharto, Batalion 8 dibawah pimpinan mayor Sardjono dan Batalion Sugeng.
Yang
akhirnya musuh pun terkepung, walaupun demikian pasukan musuh mencoba untuk
menerobos kepungan itu. Caranya ialah dengan melakukan gerakan melambung dan
mengancam kedudukan pasukan TKR dengan menggunakan tank-tank dari arah
belakang. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan TKR mundur ke Bedono, dengan
bantuan Resimen Dua yang dipimpin oleh M. Sarbini, Batalion Polisi Istimewa
yang dipimpin oleh Onie Sastroatmojo dan batalion dari Yogyakarta mengakibatkan
gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu. Di desa Jambu, para komandan
pasukan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh kolonel Holland
Iskandar.
Rapat
itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran,
bertempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor yaitu
sektor utara, sektor timur, sektor selatan dan sektor barat. Kekuatan pasukan
tempur disiagakan secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan
pasukan dari Purwokerto Letnan Kolonel isdiman gugur maka sejak saat itu Kolonel
Sudirman Panglima Divisi V diPurwokerto mengambil alih pimpinan pasukan.
Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR.
1. 2. Proses
dan strategi perang.
Musuh
terusir dari Banyubiru pada tanggal 5 Desember 1945. Setelah mempelajari
situasi pertempuran, pada tanggal 11 Desember 1945 Kolonel Sudirman mengambil
prakarsa untuk mengumpulkan setiap komandan sektor. Dalam kesimpulannya
dinyatakan bahwa musuh telah terjepit sehingga perlu dilaksanakan serangan yang
terakhir. Rencana serangan disusun sebagai berikut.
1.
Serangan dilakukan serentak dan mendadak
dari semua sector.
2.
Setiap komandan sektor memimpin
pelaksanaan serangan.
3.
Pasukan badan perjuangan (laskar) menjadi
tenaga cadangan.
4.
Hari serangan adalah 12 Desember 1945,
pukul 04.30.
Akhir dari Pertempuran
Ambarawa terjadi pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, pasukan TKR bergerak
menuju sasarannya masing-masing. Dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil
mengepung pasukan musuh yang ada di dalam kota. Pertahanan musuh yang terkuat
diperkirakan di Benteng Willem yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa.
Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Musuh yang merasa
kedudukannya terjepit berusaha keras untuk mundur dari medan pertempuran. Pada
tanggal 15 Desember 1945, musuh meninggalkan kota Ambarawa dan mundur ke
Semarang.
Pertempuran
ambarawa terjadi pada desember 1945 dimana pihak Indonesia dipimpin oleh
Kolonel Sudirman melawan tentara sekutu yang bekerja sama dengan NICA.
Meski berlangsung singkat
yakni 5 hari, namun pertempuran ini membawa beberapa dampak, baik itu positif
maupun negatif sebagai berikut:
skema pertempuran yang
dipakai oleh Jenderal Sudirman dalam mengusir Sekutu dari Ambarawa. pembahasan
kali ini menjadi 4 subbab, diantaranya tentang arti dan nama supit udang,
pembagian kelompok dalam supit udang, skema pengepungan, dan tempat tempat yang
digunakan untuk mengepung Sekutu.
A. Arti nama “Supit
Udang”
Supit
Udang adalah nama strategi perang yang digunakan oleh Kolonel Soedirman untuk
mengusir Sekutu dari Ambarawa. Supit Udang itu sendiri dijalankan oleh Kolonel
Soedirman setelah prajurit kepercayaannya yaitu Letkol Isdiman meninggal dunia.
Letkol Isdiman meninggal dunia di desa kelurahan, Jambu karena terkena serangan
bom udara oleh Sekutu saat berangkat menuju Ambarawa.
Setelah kejadian itu,
Kolonel Soedirman pun turun tangan untuk menyingkirkan sekutu dari Ambarawa.
Dari situlah strategi “Supit Udang” muncul. Nama Supit Udang berasal dari
bahasa pewayangan yang artinya kepungan.[1] Jadi, strategi Supit Udang itu
digunakan dengan maksud untuk mengepung Sekutu agar beranjak dari bumi
Ambarawa. Dan ternyata dengan strategi itu, rakyat Ambarwa berhasil
menyingkirkan Sekutu dari Ambarawa.
B. Pembagian Kelompok
Dalam Strategi Supit Udang
Kelompok
I sebagai “tubuh udang” merupakan induk pasukan dengan jumlah kekuatan
terbesar. Mereka bertugas sebagai ujung tombak. Di dalam kekuatan itu, terdapat
empat batalyon yang dipimpin Mayor Soeharto, Mayor Sardjono yang bergerak di
kanan jalan, serta mayor Adrongi dan sugeng Tirtosewoyo di kiri jalan.
Kelompok II menempati
posisi kaki udang. Pasukan di kaki kiri bergerak dari Jambu ke bandungan dan
baran, sebagian lagi lewat brongkol terus ke Banyubiru yang nantinya menyerang
Sekutu dan lambung pasukan di sektor tenggara. Mereka dipimpin Letkol Bambang
Sugeng dari resimen 14 Temanggung dan Letkol Kun Kamdani dari resimen 14/devisi
V Purworejo.
Kelompok III sebagai
supit juga terbagi dua, menduduki posisi kanan dan kiri, kelompok IV yang
menempati ekor udang kebanyakan terdiri atas laskar dan pasukan rakyat yang
membantu induk pasukan bila terdesak. Sesuai rencana, penyerangan dilakukan
serentak pukul 04.30 pada desember. 3 hari pertempuran sekalipun dengan
persenjataan tak seimbang, itu ternyata dimenangkan oleh pejuang RI. Dan NICA
bersama Sekutu dipaksa angkat kaki oleh rakyat Ambarawa.
C. Pengepungan Terhadap
Sekutu
Gerakan
sekutu mundur dari Pingit ke Ambarawa mengalami hambatan karena adanya
penghadangan di sepanjang Pingit – Ngipik – Ambarawa. Dengan susah payah dan
menimbulkan banyak korban, sekutu berhasil memasuki kota Ambarawa.
Selanjutnya, bala bantuan
pihak Indonesia pun berdatangan dari berbagai daerah ke Ambarawa. Dengan
bertambahnya kekuatan pasukan kita, maka diadakan konsolidasi dan koordinasi
pasukan, yang akhirnya berhasil membentuk Markas Pertempuran di Magelang
dipimpin oleh Kol. Holan Iskandar.[2]
Medan perang di Ambarawa
di bagi dalam sektor-sektor yaitu Utara, Selatan, Barat dan Timur agar serangan
terhadap sekutu dapat lebih ditingkatkan.
Ketika matahari mulai
menyingsing, pertempuran pun dimulai. Dengan gagah berani rakyat Indonesia pun
maju berperang. Segala serangan dari sekutu dibalas oleh rakyat Indonesia.
Pasukan Indonesia sebelah kanan jalan di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Mayor
Sardjono, dan Mayor Soegeng Tirtosiswoyo menyerbu dan merebut stelling musuh di
kuburan Belanda. Meskipun pertahan sekutu sangat kuat, namun serangan pasukan
Indonesia semakin rapat dan padat. Di segala penjuru hampir-hampir temu gelang.
Jadi musuh di Ambarawa semakin lama semakin semakin berada dalam posisi
“Kinepung Wakul Binoyo Mangap”.[3]
D. Tempat-tempat yang digunakan
Kolonel
Sudirman memang kolonel yang cerdas. Beliau membagi titik-titik untuk
menggunakan stategi supit udang itu bukan di sembarang tempat. Beliau
membaginya pada tempat yang strategis. Titik-titik pada stategi itu terletak
pada dataran tinggi. Sedangkan sekutu berada di Ambarawa, dimana kota Ambarawa
merupakan dataran yang rendah di bandingkan dengan titik atau tempat dalam
strategi Supit udang itu sendiri. Strategi Supit Udang dijalankan dengan
membagi di beberapa tempat. Tempat-tempat atau titik tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Ambarawa
2. Bawen
3. Lemahabang
4. Bandungan
5. Tuntang
6. Banyubiru
7. Ngampin
8. Jambu
9. Kelurahan
10. Baran
Tempat-tempat tersebut
adalah tempat-tempat yang berada pada dataran tinggi, sehingga gerak-gerik
sekutu dapat dipantau dari atas oleh rakyat Indonesia, sedangkan sekutu tidak
dapat memantau rakyat Indonesia dari bawah (kota Ambarawa).
Seperti itulah kecerdasan
yang dimiliki Kolonel Soedirman. Beliau dapat memperhitungkan tempat-tempat
yang memang sangat menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Pertempuran itu pada akhirnya membawa
kemenangan, keberhasilan, kegemilangan bagi pasukan Indonesia. Sekutu terpaksa
harus meninggalkan kota Ambarawa.
3 3 .Dampak
Pertempuran Ambarawa
DAMPAK POSITIF
1.
Pihak Indonesia bisa merebut kembali
wilayah kedaulatan Indonesia dari serangan pasukan sekutu dan NICA. Mereka
berhasil dipukul mundur ke Semarang.
2.
Kekalahan mereka di Ambarawa juga turut
menciutkan dan melemahkan kekuatan Belanda. Sebagai akibatnya, mereka makin
terdesak di wilayah Indonesia lainnya.
3.
Sebaliknya, kemenangan pada pertempuran
ambarawa turut mengobarkan semangat juang Indonesia melawan penjajah di wilayah
lain.
DAMPAK NEGATIF
1.
Sama seperti peperangan lainnya,
pertempuran ambarawa juga membuat sejumlah nyawa melayang baik itu dari pihak
penjajah maupun dari pihak Indonesia.
2.
Salah satu kehilangan besar bangsa ini
adalah gugurnya Letnan Kolonel Isdiman Suryokusumo yang merupakan orang
kepercayaan Soedirman.
3.
Dampak negatif lainnya adalah rakyat yang
melayang jiwanya dan terancam keamanannya.
4.
Selain itu, pertempuran ini juga
menyebabkan lumpuhnya sendi sendi kehidupan sosial masyarakat di wilayah
pertempuran. Aktifitas perekonomian dan lain lain otomatis terganggu.
Meski berdampak negatif
pada kehidupan rakyat namun apa yang dilakukan pejuang kemerdekaan pada
pertempuran ambarawa didukung penuh oleh segenap rakyat Indonesia karena tujuan
pertempuran tersebut mulia yakni membebaskan indoensia dari penjajahan.
[1] Ery Soepardjan, Monumen Palagan Ambarawa 15 Desember 1974, (Semarang: Panitia Pembangunan Monumen Palagan Ambarawa, 1974), hlm. 60
[2] Ibid,. hal. 60
[3] http://www.sarisejarah.com/2012/06/skema-pertempuran-supit-udang-jend.html diakses pada tanggal 25
tolong komen aku
BalasHapusiya... aku komen nih
HapusSundul gan
Hapus